Oleh: Rikky Fermana, S.IP., C.Med, C.Par, C.NG, C.IJ, C.PW

TROPEDO.ID — Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diperingati setiap 3 Mei seharusnya menjadi momen reflektif bagi seluruh pelaku ekosistem media—baik jurnalis, pemilik media, regulator, akademisi, hingga masyarakat sebagai konsumen informasi. Tahun 2025 ini, tema global “Reporting in the Brave New World: The Impact of Artificial Intelligence on Press Freedom and the Media” mencerminkan kegelisahan nyata: kebebasan pers kini bukan hanya terancam oleh represi kekuasaan, tetapi juga oleh disrupsi teknologi dan penyalahgunaan kebebasan itu sendiri.

Kebebasan Pers di Tengah Kebisingan Informasi

Di Indonesia, kebebasan pers berada dalam paradoks. Di satu sisi, ruang ekspresi terbuka luas. Namun di sisi lain, kebebasan yang tidak dibarengi tanggung jawab justru melahirkan kebisingan informasi yang membingungkan publik dan mengaburkan esensi pers sebagai pilar demokrasi. Munculnya media bodong—media daring tanpa badan hukum—menjadi cerminan buram atas kondisi ini. Maka pertanyaannya: apakah kita benar-benar merdeka, atau justru tersesat dalam kebebasan semu?

AI: Antara Inovasi dan Ancaman

Teknologi kecerdasan buatan (AI) membawa kemajuan luar biasa dalam dunia jurnalistik: dari otomatisasi penulisan berita, verifikasi fakta, hingga analisis data untuk liputan investigatif. Namun, kemajuan ini juga menghadirkan tantangan besar: disinformasi, deepfake, manipulasi data, serta ancaman terhadap privasi dan integritas informasi.

UNESCO dalam laporan tahun 2024 menegaskan bahwa batas antara kenyataan dan rekayasa makin kabur. Generatif AI berpotensi disalahgunakan oleh negara, korporasi, atau individu untuk menyebarkan disinformasi secara masif. Tak sedikit media yang menggunakan AI secara serampangan demi mengejar klik—mengabaikan etika jurnalistik.

Ketika Kebebasan Disalahgunakan

Kebebasan pers seharusnya menjadi alat pembebasan. Namun di tangan yang salah, ia berubah menjadi senjata intimidasi dan pemerasan. Banyak oknum mengaku sebagai wartawan padahal tidak memahami atau sengaja melanggar etika jurnalistik. Mereka menyebarkan berita tanpa konfirmasi, bahkan meminta uang agar berita tidak dipublikasikan.

Parahnya, sebagian dari mereka beroperasi tanpa badan hukum, tanpa struktur redaksi, dan tanpa terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini melanggar Pasal 9 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengharuskan perusahaan pers berbadan hukum Indonesia.

Mahmud Marhaba dari Dewan Pers menyatakan bahwa karya jurnalistik hanya sah jika ditulis berdasarkan kaidah jurnalistik (5W+1H, berimbang, dan terverifikasi) serta diterbitkan oleh perusahaan pers berbadan hukum. Jika tidak, tulisan tersebut bukan produk pers, melainkan konten biasa yang bisa diproses secara pidana atau perdata.

Disrupsi Etika di Era Digital

Teknologi seperti ChatGPT, Midjourney, dan Bard memang memberi efisiensi luar biasa. Tapi justru di sinilah letak ancamannya: AI memungkinkan produksi konten yang tampak kredibel namun fiktif. Dalam dunia yang serba cepat ini, peran jurnalis manusia tetap vital—sebagai penjaga akurasi, konteks, dan integritas.

Teknologi memang netral. Namun bagaimana kita menggunakannya menentukan apakah ia menjadi alat pembebasan atau alat penindasan.

Media Bodong, Ancaman Demokrasi

Media tidak resmi sering digunakan dalam agenda politik seperti Pilkada atau Pemilu untuk menyebarkan hoaks dan manipulasi opini publik. Dalam situasi seperti ini, media abal-abal menjadi alat kampanye hitam yang merusak reputasi lawan dan menciptakan polarisasi sosial.

Demokrasi yang seharusnya berjalan rasional berubah menjadi ajang manipulasi emosi. Ketika masyarakat tidak mampu memilah informasi yang kredibel, maka yang muncul adalah disinformasi masif dan delegitimasi proses demokrasi.

Penegakan Hukum Harus Tegas

Sayangnya, penegakan hukum terhadap media ilegal masih lemah. Banyak oknum dibiarkan bebas berkeliaran, bahkan dilindungi oleh pihak tertentu. Herudjanto dari Dewan Pers menegaskan bahwa media tidak berbadan hukum adalah entitas ilegal, dan wartawannya tidak bisa disebut jurnalis.

Jika mereka menulis berita yang merugikan, maka harus diproses berdasarkan hukum umum, bukan melalui Dewan Pers. Ini adalah pesan penting bagi aparat penegak hukum: jangan ragu menindak media ilegal demi menjaga martabat jurnalisme.

Literasi Media dan Tanggung Jawab Sosial

Peningkatan literasi media di masyarakat menjadi langkah penting. Masyarakat harus diajarkan cara membedakan media profesional dengan media bodong. Di sisi lain, pemilik media juga harus bertanggung jawab dengan merekrut wartawan yang kompeten, tersertifikasi, dan memahami kode etik jurnalistik.

Media juga harus memiliki struktur redaksi yang jelas, sistem editing yang ketat, dan SOP yang profesional. Tanpa itu, reputasi media akan mudah runtuh di tengah gelombang informasi digital.

Tantangan AI dan Posisi Jurnalis

Ketika AI bisa menulis dan mengedit, maka peran jurnalis bukan lagi soal kecepatan, tapi soal kredibilitas dan konteks. Jurnalis adalah gatekeeper, kurator fakta, dan penjaga nilai-nilai publik. Di tengah gelombang disinformasi, peran ini menjadi lebih penting dari sebelumnya.

Kembalikan Marwah Pers

Di tengah badai informasi, kita harus kembali pada jati diri: pers bukan sekadar industri, tapi institusi demokrasi. Wartawan bukan sekadar penulis, tapi penjaga nurani publik. Maka, menjaga marwah pers adalah tanggung jawab kolektif bangsa.

Langkah-Langkah Mendesak:

1. Menindak tegas media ilegal dan wartawan abal-abal.

2. Mendorong legalisasi dan profesionalisasi media daring.

3. Mewajibkan sertifikasi dan pelatihan etika untuk wartawan.

4. Mengembangkan program literasi pers nasional.

5. Memperkuat pengawasan internal media massa.

6. Meregulasi penggunaan AI di media agar tidak disalahgunakan.

7. Membangun kolaborasi antara pemerintah, media, masyarakat sipil, dan platform teknologi.

Kebebasan pers bukan lisensi untuk bertindak semaunya, tetapi amanah untuk menyuarakan kebenaran dan membela kepentingan publik. Jika marwah ini tidak dijaga, maka pers akan kehilangan kepercayaan, dan demokrasi akan kehilangan fondasinya.**