TROPEDO.ID — Kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah yang melibatkan PT Timah, Tbk., mengungkap berbagai fakta mengejutkan yang terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu, (31/7/2024).

Dakwaan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum, Ardito Muwardi dari Jampidsus Kejaksaan Agung RI, mencakup periode tahun 2015 hingga 2022, dengan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 300 triliun.

Baca Juga Selengkapnya: Sidang Korupsi Tata Niaga Timah: Jaksa Bacakan Dakwaan terhadap Tiga Mantan Pejabat Bangka Belitung

Kasus ini berawal dari upaya PT Timah untuk meningkatkan produksi bijih timah pada pertengahan tahun 2017. Karena keterbatasan aturan yang melarang pembelian bijih timah langsung dari penambang ilegal, pihak manajemen PT Timah, yang diwakili oleh Emil Emindra (Direktur Keuangan) dan Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (Direktur Utama), diduga melakukan langkah-langkah tidak sah untuk mendapatkan bijih timah dari sumber-sumber ilegal.

Untuk mewujudkan rencana ini, mereka diduga memanfaatkan TW, seorang wartawan senior dari Bangka Belitung, yang berperan sebagai perantara dalam transaksi tersebut. Melalui perusahaan CV Salsabila Utama yang didirikan atas inisiatif mereka, bijih timah dibeli dari penambang ilegal dan kemudian dijual kembali ke PT Timah. Dalam proses tersebut, perusahaan ini mengeluarkan biaya hingga Rp 986.799.408.690.

Baca Juga Selengkapnya: Kejaksaan Agung Raih Predikat WTP Kedelapan Kalinya: Komitmen Transparansi dan Akuntabilitas

Selain CV Salsabila Utama, dakwaan juga menyebut keterlibatan beberapa perusahaan lain, seperti CV Indo Metal Asia dan CV Koperasi Karyawan Mitra Mandiri (KKMM), yang diduga turut serta dalam membeli bijih timah dari sumber ilegal. Perusahaan-perusahaan ini kemudian menjual bijih timah tersebut ke PT Timah, seolah-olah transaksi tersebut sah dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Untuk memperkuat legitimasi kegiatan ini, Achmad Haspani, yang menjabat sebagai Kepala Unit Penambangan Darat Bangka (UPDB) dan Kepala Unit Penambangan Belitung (UPB), diduga turut berperan dengan menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) Borongan Pengangkutan SHP atas perintah Alwin Albar. Namun, dalam kenyataannya, perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan pengangkutan bijih timah, melainkan sekadar membeli bijih timah ilegal dan menjualnya kembali dengan harga yang telah dimanipulasi.

Baca Juga Selengkapnya: Jaksa Agung RI Sambut Baik Perjanjian Kerja Sama Antara JAMINTEL dengan Puspom TNI

Setelah keterlibatan TW dalam kasus ini terungkap di persidangan, ia tiba-tiba menghilang dari sorotan publik, yang menambah dimensi baru dalam penyelidikan yang sedang berlangsung. Hilangnya TW menciptakan misteri dan menarik perhatian lebih besar terhadap kasus ini, khususnya terkait upaya untuk mengungkap jaringan yang terlibat dalam korupsi tata niaga komoditas timah ini.

Publik berharap bahwa kasus ini dapat diselesaikan dengan transparansi dan keadilan, mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan bagi negara dan dampak sosial-ekonomi yang merugikan masyarakat luas, terutama di wilayah Bangka Belitung yang dikenal sebagai salah satu pusat produksi timah di Indonesia. (Tim)