TROPEDO.ID — Pemerintah bersama DPR telah menggagas revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sebuah langkah yang mendapatkan perhatian luas namun juga menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak. Salah satu yang paling vokal dalam menyuarakan kekhawatiran mereka adalah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Sabtu, (11/5/2024).

Menurut pernyataan resmi yang dirilis oleh IJTI, kekhawatiran mereka terhadap proses penyusunan dan substansi dari draf revisi tersebut sangatlah signifikan. Salah satu perhatian utama mereka adalah kurangnya keterlibatan berbagai pihak, terutama organisasi profesi jurnalis dan komunitas pers, dalam proses penyusunan tersebut.

Pentingnya partisipasi semua pihak terkait dalam penyusunan peraturan yang berkaitan dengan bidang pers dan penyiaran telah ditegaskan oleh IJTI. Mereka berpendapat bahwa kurangnya representasi dari berbagai pihak dapat mengakibatkan pemahaman yang tidak mendalam terhadap kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh para praktisi media.

Salah satu titik fokus utama dari kekhawatiran IJTI adalah terkait dengan beberapa pasal dalam draf revisi tersebut. Salah satunya adalah Pasal 50 B ayat 2 huruf c, yang mengenai larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. IJTI menilai pasal ini ambigu dan berpotensi menghambat kebebasan berekspresi serta akses informasi publik.

Selain itu, Pasal 50 B ayat 2 huruf k juga menjadi sorotan IJTI. Pasal ini berkaitan dengan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. IJTI menganggap pasal ini multi-tafsir dan berpotensi digunakan sebagai alat untuk menekan kebebasan pers serta mengkriminalisasi praktisi media.

Tak hanya itu, IJTI juga menyoroti Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2, yang menyebutkan penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Mereka berpendapat bahwa hal ini tidak sejalan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menetapkan Dewan Pers sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik.

Dalam respons terhadap draf revisi tersebut, IJTI menegaskan sikapnya: menolak sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang berpotensi mengancam kemerdekaan pers. Mereka juga meminta DPR untuk mengkaji ulang draf revisi RUU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk organisasi jurnalis dan masyarakat umum.

Selain itu, IJTI mengajak semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak digunakan sebagai alat untuk membatasi kebebasan pers dan kreativitas individu di berbagai platform media. Dengan demikian, IJTI berharap agar revisi UU Penyiaran dapat memperkuat dan melindungi kebebasan pers serta mendukung perkembangan industri media yang sehat dan berkualitas.(**)