TROPEDO.ID — Aroma dugaan penipuan bernilai besar kembali menyeruak dari balik dinding institusi negara. Kali ini, sorotan publik tertuju pada lingkungan Stasiun Pemantauan Keamanan dan Keselamatan Laut (SPKKL) Badan Keamanan Laut (Bakamla) Kepulauan Bangka Belitung, setelah seorang warga Sungailiat, Fika Saputra alias Cepot (38), resmi melapor ke Polresta Pangkalpinang atas dugaan tindak pidana penipuan senilai Rp100 juta.

Kedatangan Cepot ke Mapolresta pada Sabtu (1/11/2025) siang tidak sendiri. Ia didampingi rekannya, Lukman, warga Lingkungan Nelayan II Sungailiat yang juga dikenal sebagai Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Bangka.

Laporan tersebut terdaftar dengan Nomor: LP/B/571/XI/2025/SPKT/POLRESTA PANGKALPINANG/POLDA BABEL, tertanggal 1 November 2025 pukul 14.56 WIB.

Dasar hukum yang digunakan yakni Pasal 378 KUHP tentang Tindak Pidana Penipuan atau Perbuatan Curang, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1946.

Lokasi kejadian disebut berada di Jalan Pulau Belitung, Kelurahan Air Itam, Kecamatan Bukit Intan, Kota Pangkalpinang — tak jauh dari kantor Bakamla Babel. Dalam laporan tersebut, nama terlapor belum dicantumkan dan masih berstatus “dalam lidik.”

Awal Mula Kasus: Soal Timah dan Upaya “Penyelesaian”

Peristiwa bermula pada Rabu, 10 September 2025 sekitar pukul 20.30 WIB. Malam itu, Cepot bersama dua rekannya, Lukman dan Surya Darma alias Kuncui, diamankan oleh aparat dan dibawa ke kantor Bakamla Babel di Jalan Pulau Belitung.

Ketiganya diamankan karena Cepot diduga membeli 203 kilogram pasir timah dari masyarakat di luar wilayah IUP PT Timah Tbk. Dugaan pelanggaran ini membuat mereka berupaya mencari jalan keluar agar persoalan tidak berlanjut ke ranah hukum.

Pada Kamis, 11 September 2025 sekitar pukul 10.00 WIB, seseorang yang kini berstatus terlapor datang ke kantor Bakamla. Setelah berbicara dengan Cepot dan sempat masuk ke ruangan Kepala Bakamla Babel, orang tersebut kemudian menemui Cepot dan meminta uang Rp100 juta dengan janji akan membantu menyelesaikan persoalan hukum itu.

Karena terdesak, Cepot akhirnya menyanggupi permintaan tersebut. Ia bahkan mendapat janji dari rekannya, Kuncui, yang berkomitmen menutupi setengah dari jumlah uang itu setelah masalah “selesai.”

Malam harinya, sekitar pukul 20.00 WIB, Cepot menyerahkan tas sandang berisi uang Rp100 juta kepada terlapor di lingkungan kantor Bakamla. Terlapor lantas masuk ke ruangan Kepala Bakamla Babel dan keluar sekitar pukul 20.30 WIB dengan tas yang sudah dalam keadaan kosong.

Namun, janji tinggal janji. Beberapa hari kemudian, saat Cepot menagih janji Kuncui untuk mengganti Rp50 juta, ia justru mendapat jawaban mengejutkan: Kuncui mengaku terlapor tidak pernah menerima uang tersebut.

Laporan Polisi dan Jejak Surat Pernyataan di Hotel

Merasa tertipu, Cepot pun menempuh jalur hukum dengan melapor ke Polresta Pangkalpinang. Namun, kasus ini kian menarik setelah tim media memperoleh salinan surat pernyataan bersama yang dibuat pada Kamis (30/10/2025).

Dokumen tersebut ditandatangani di Hotel Grand Safran, Jalan Soekarno Hatta, Pangkalpinang. Dalam surat itu tercantum tiga nama: Lukman, Surya Darma alias Kuncui, dan Rendra Wijaya. Ketiganya mengakui telah menyerahkan uang Rp100 juta setelah peristiwa 11 September 2025 kepada seorang oknum berinisial Joh, yang disebut-sebut sebagai staf khusus Gubernur Bangka Belitung.

Keterangan dalam surat itu membuka dugaan keterlibatan pihak lain di luar lingkungan Bakamla. Namun, Kepala SPKKL Bakamla Babel, Letkol Yuli Eko Prihartanto, membantah keras tudingan bahwa dirinya menerima uang tersebut.

“Tidak benar saya menerima uang Rp100 juta. Saya tidak tahu urusan apa yang mereka bicarakan,” ujarnya dalam klarifikasi terpisah yang diterima redaksi.

Klarifikasi yang Menggantung dan Respons Santai dari “Joh”

Untuk memastikan kebenaran informasi, tim media berupaya mengonfirmasi para pihak terkait. Pesan WhatsApp dikirim kepada Cepot, Lukman, dan Letkol Yuli Eko Prihartanto pada Sabtu (1/11/2025) malam, namun hingga berita ini diterbitkan belum ada respons.

Sementara itu, oknum berinisial Joh yang disebut dalam surat pernyataan justru menanggapi santai. Melalui pesan WhatsApp, Joh mengaku tengah menghadiri Musyawarah Nasional (Munas) ProJo di Jakarta.

“Waalaikum salam, tengah Munas ProJo di Jakarta ku pradik. Insya Allah yang benar akan kelihatan pradik,” tulisnya dengan nada santai.

Pernyataan itu menambah daftar panjang pertanyaan publik: benarkah Joh terlibat dalam pusaran uang Rp100 juta yang disebut diserahkan di kantor Bakamla? Ataukah ada pihak lain yang bermain di balik layar?

Ruang Kepala Bakamla Jadi “Saksi Bisu”

Hingga kini belum ada penjelasan resmi dari pihak Bakamla Babel maupun Polda Kepulauan Bangka Belitung terkait laporan polisi tersebut. Namun, satu hal yang pasti, ruangan Kepala Bakamla kini menjadi “saksi bisu” atas peristiwa misterius yang menelan uang Rp100 juta milik warga Sungailiat.

Kejadian ini menambah panjang daftar dugaan penyalahgunaan wewenang dan relasi kuasa di lingkungan birokrasi, di mana upaya “penyelesaian” kasus kerap diselimuti praktik transaksional.

Publik kini menanti langkah tegas aparat penegak hukum untuk menelusuri aliran uang serta memeriksa pihak-pihak yang disebut dalam laporan maupun surat pernyataan.

Tanpa tindakan nyata, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara dikhawatirkan semakin terkikis.

Di tengah maraknya praktik jual-beli pengaruh yang mencederai penegakan hukum, kasus ini menjadi cermin getir: bahwa kebenaran masih harus diperjuangkan bahkan ketika ruang negara sendiri menjadi saksi bisu hilangnya keadilan.(KBO)