TROPEDO.ID — Politik uang atau money politics, yang sering kali menjadi ciri khas pemilihan di Indonesia, terus menghantui setiap proses pemilihan anggota legislatif atau pemimpin. Meskipun praktik ini secara tegas dilarang oleh konstitusi dan mendapat penentangan kuat dari agama, terutama Islam, politik uang tetap saja menjadi bagian yang sulit dihilangkan dari panggung politik. Sabtu, (23/12/2023).

Politik sebagai Wasîlah, Bukan Ghâyah

Prinsip dasar politik sebagai perantara (wasîlah) untuk mencapai tujuan masyarakat yang adil, aman, dan sejahtera mengingatkan kita bahwa politik seharusnya tidak menjadi tujuan akhir (ghâyah). Namun, sayangnya, dalam realitasnya, politik sering kali terjerumus dalam praktik yang membabibuta, mengorbankan tujuan mulia politik itu sendiri.

Pemilihan Umum: Mekanisme yang Ditantang Politik Uang

Proses pemilihan umum dengan mekanisme satu orang satu suara telah mendorong peserta pemilu, khususnya para kandidat pemimpin, untuk bersaing meraih simpati dan dukungan suara. Namun, dalam upaya mencapai tujuan ini, banyak yang memilih jalan instan dengan mengobral janji manis, bahkan menebar uang suap atau barang untuk mempengaruhi pemilih.

Perspektif Agama: Larangan dan Hukuman

Islam sebagai mayoritas agama di Indonesia dengan tegas melarang politik uang. Ayat-ayat dalam Alquran, seperti Surah Al-Baqarah Ayat 188, dan hadits yang diwayatkan oleh Ahmad menegaskan larangan keras terhadap pemberi suap, penerima suap, dan perantara politik uang.

Fatwa Alim Ulama: Penjelasan dan Penetapan Hukum

Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama memberikan jawaban tegas terhadap beberapa pertanyaan terkait politik uang. Pertama, pemberian kepada calon pemilih atas nama transportasi, ongkos kerja, atau kompensasi dianggap risywah (suap) karena terkandung maksud terselubung mempengaruhi pilihan politik.

Kedua, politisi yang memberikan sesuatu kepada calon pemilih atas nama zakat dan sedekah dari harta miliknya juga dianggap risywah, tergantung pada dominasi ambisi politiknya. Pemberian ini dapat merusak nilai keutamaan dari zakat atau sedekah itu sendiri.

Hukum Menerima Risywah: Antara Haram dan Mubah

Bagaimana hukum menerima pemberian yang dimaksudkan untuk risywah? Menurut fatwa, jika penerima mengetahui maksud pemberian itu dimaksudkan untuk risywah, maka hukumnya haram. Namun, jika penerima tidak mengetahuinya, hukumnya mubah. Tetapi, jika suatu saat mengetahui maksud pemberian itu, penerima wajib mengembalikannya.

 

 

Sumber: Berbagai Sumber