OPINI

Oleh: Martono

TROPEDO.ID — Kolaborasi antara eksekutif dan legislatif dalam menjalankan kegiatan pokok pikiran (pokir) DPRD sering kali menimbulkan kontroversi. Pada dasarnya, pokir DPRD merupakan salah satu instrumen penting bagi anggota dewan untuk menyampaikan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Pokir diharapkan dapat menjadi media untuk memperjuangkan kebutuhan rakyat, terutama dalam pembangunan daerah. Namun, dalam praktiknya, pokir tak jarang disalahgunakan untuk tujuan lain yang menyimpang dari prioritas daerah.

Idealnya, pokir harus selaras dengan pembangunan daerah berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat. Ini berarti, pokir seharusnya mendukung program-program yang sudah direncanakan pemerintah daerah melalui mekanisme yang terstruktur dan transparan. Namun, di lapangan, seringkali terjadi penyimpangan. Beberapa pokir yang diusulkan oleh anggota DPRD justru mengabaikan prioritas pembangunan daerah dan lebih diarahkan untuk proyek-proyek yang menguntungkan pihak tertentu.

Potensi penyimpangan dalam pelaksanaan pokir menjadi salah satu masalah besar. Beberapa pokir tidak sesuai dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Pokir, yang seharusnya menjadi wujud nyata dari aspirasi rakyat, terkadang digunakan untuk memperkuat kepentingan politik atau ekonomi dari anggota DPRD yang bersangkutan. Proyek-proyek yang seharusnya diarahkan untuk kepentingan publik berubah menjadi alat untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu.

Kolaborasi antara eksekutif dan legislatif di tingkat daerah seharusnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun, di beberapa daerah, kolaborasi ini berubah menjadi ajang untuk mempertahankan kekuasaan dan pengaruh politik. Pemerintah daerah (eksekutif) memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak pokir yang diajukan oleh legislatif. Sayangnya, ada potensi kesepakatan politik di balik pengesahan pokir yang tidak sesuai dengan prioritas daerah.

Manipulasi anggaran melalui pokir menjadi masalah krusial dalam pengelolaan keuangan daerah. Pokir DPRD dapat menjadi alat untuk mendapatkan proyek-proyek tertentu yang anggarannya diambil dari dana publik. Anggaran ini seharusnya dialokasikan untuk sektor-sektor penting seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur dasar yang mendukung kebutuhan rakyat. Ketika dana publik ini disalahgunakan untuk proyek yang tidak sesuai, kepentingan masyarakatlah yang dikorbankan.

Fenomena ini semakin memperburuk kondisi pembangunan di daerah. Proyek-proyek yang didanai melalui pokir terkadang hanya berdampak terbatas bagi masyarakat atau bahkan hanya menguntungkan segelintir elit politik. Hal ini membuat anggaran daerah tidak optimal dalam memenuhi kebutuhan rakyat yang lebih mendesak. Ketika pokir digunakan untuk proyek-proyek yang tidak relevan, maka pembangunan daerah berjalan stagnan.

Kurangnya transparansi dalam perencanaan pokir juga menjadi faktor utama penyalahgunaan. Dalam banyak kasus, proses pengambilan keputusan terkait pokir dilakukan tanpa keterbukaan. Masyarakat sering kali tidak mengetahui bagaimana pokir diputuskan, serta tidak memiliki akses yang cukup untuk memantau penggunaan anggaran pokir tersebut. Minimnya transparansi ini membuka peluang bagi para pelaku politik untuk melakukan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Tanpa transparansi, pengelolaan anggaran melalui pokir sangat rentan disalahgunakan. Masyarakat yang tidak mendapatkan akses terhadap informasi sering kali hanya bisa pasrah melihat uang publik digunakan untuk proyek-proyek yang tidak relevan dengan kebutuhan mereka. Akibatnya, rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan DPRD yang seharusnya bekerja untuk kepentingan mereka.

Dampak langsung dari kolaborasi yang tidak sehat antara eksekutif dan legislatif ini sangat dirasakan oleh masyarakat. Ketika anggaran publik dialihkan untuk proyek-proyek yang tidak sesuai, pembangunan daerah menjadi timpang. Daerah yang membutuhkan perhatian justru terabaikan karena anggarannya dialihkan ke proyek yang tidak memiliki dampak signifikan bagi masyarakat luas. Ini menciptakan ketimpangan dalam pembangunan dan memperparah kondisi sosial ekonomi di daerah tersebut.

Ketimpangan pembangunan akibat penyalahgunaan pokir berdampak serius pada kesejahteraan masyarakat. Proyek-proyek yang benar-benar dibutuhkan, seperti perbaikan infrastruktur, peningkatan layanan kesehatan, dan penyediaan fasilitas pendidikan, terpaksa harus tertunda atau bahkan dibatalkan karena anggarannya habis untuk proyek yang tidak prioritas. Pada akhirnya, rakyatlah yang harus menanggung akibat dari kolaborasi eksekutif-legislatif yang lebih mementingkan kepentingan pribadi.

Penyimpangan dari prioritas daerah menjadi faktor utama terhambatnya pembangunan yang berkelanjutan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang sudah dirancang dengan baik berdasarkan kebutuhan masyarakat luas seringkali terabaikan karena pokir yang tidak tepat sasaran. Ini mengakibatkan berbagai proyek strategis yang sebenarnya mendesak justru tertunda, dan pembangunan daerah pun berjalan lambat.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan langkah nyata dalam memperbaiki pengelolaan pokir. Salah satu solusinya adalah dengan memperkuat pengawasan terhadap pokir oleh lembaga pengawas eksternal, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pengawasan yang ketat akan membantu meminimalkan potensi penyalahgunaan anggaran dan memastikan bahwa pokir yang disetujui benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.

Selain itu, keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan pokir juga sangat penting. Dengan melibatkan masyarakat, transparansi dalam penggunaan anggaran publik akan meningkat. Masyarakat dapat memberikan masukan langsung terkait kebutuhan prioritas daerah dan memantau implementasi pokir untuk memastikan bahwa anggaran tidak disalahgunakan.

Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam menciptakan kolaborasi yang sehat antara eksekutif dan legislatif. Dengan adanya keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan, pemerintah daerah dan DPRD akan lebih terfokus pada kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Pengelolaan pokir yang baik akan mengarahkan pembangunan daerah menuju arah yang benar.

Secara keseluruhan, pokir DPRD seharusnya menjadi alat untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Ketika digunakan dengan benar, pokir dapat menjadi salah satu pendorong utama pembangunan daerah. Namun, ketika disalahgunakan, pokir justru menjadi ancaman bagi kemajuan daerah. Oleh karena itu, penting untuk menjaga agar kolaborasi antara eksekutif dan legislatif selalu berorientasi pada kepentingan rakyat.

Masa depan pembangunan daerah sangat bergantung pada transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran publik. Pokir DPRD, sebagai salah satu komponen penting dalam proses tersebut, harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Pemerintah daerah dan DPRD harus bersama-sama memastikan bahwa dana publik digunakan untuk tujuan yang benar dan bermanfaat bagi masyarakat luas.